
Kepastian pasokan dan ketersediaan infrastruktur gas dinilai menjadi kunci dalam menguatkan transisi energi yang nantinya dapat mendukung program swasembada energi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Direktur Pembinaan Program Migas Direktorat Jendral Migas Kementerian ESDM Mirza Mahendra dalam keterangan di Jakarta, Selasa, menyampaikan dengan meningkatnya kebutuhan gas domestik maka tentunya harus diiringi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai.
Mirza mengatakan pemerintah saat ini sedang melaksanakan beberapa proyek infrastruktur di beberapa wilayah Indonesia seperti pembangunan pipa gas, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), floating storage regasification unit (FSRU), terminal, dan sejumlah proyek yang diupayakan untuk dapat memenuhi permintaan energi utamanya gas dalam negeri.
“Pembangunan ini jelas membutuhkan investasi dari seluruh kalangan industri. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai program pengembangan gas dalam negeri ditujukan untuk mendukung swasembada energi sebagaimana disampaikan Bapak Presiden,” kata Mirza.
Direktur Utama PLN EPI Rakhmad Dewanto menyatakan dalam kurun waktu 10 tahun atau seperti yang tertuang dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 10,3 gigawatt (GW) sehingga sangat dibutuhkan keandalan serta kepastian pasokan gas.
Untuk 2025, tambahan kapasitas sebesar 0,4 GW. Kemudian, 2026 sebesar 1,6 GW lalu, 2027 sebesar 3,8 GW. Selanjutnya, 2028 sebesar 1,1 GW, 2029 mencapai 2,4 GW serta 2030 sebesar 0,7 GW.
Selanjutnya, untuk 2031 hingga 2033 tambahan masing-masing sebesar 0,1 GW dan terakhir 2034 ada tambahan sebesar 0,2 GW.
“PLN EPI mengharapkan kepastian alokasi gas baik dari sumber domestik ataupun sumber lainnya. Selain itu kami juga mengharapkan dukungan dari Pemerintah dalam setiap proses pengembangan infrastruktur gas termasuk perizinan dan pendanaan,” kata Rakhmad.
Sementara itu, Kepala Divisi Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas Rayendra Sidik menyatakan pada dasarnya produksi gas Indonesia cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri termasuk untuk pembangkit listrik, hanya saja para produsen gas sudah terlanjur meneken kontrak jangka panjang dengan para pembelinya di luar negeri.
Untuk itu, sambil menunggu pasokan gas lain yang berasal dari temuan-temuan cadangan gas baru, maka Pemerintah berinisiatif untuk menjalankan strategi swap.
Rayendra mengakui untuk bisa meningkatkan pemanfaatan gas tersebut perlu salah satu tantangan terberat adalah dari sisi infrastruktur. Selanjutnya, baru dari sisi harga.
“Tantangannya pusat demand dan produksi belum match (ketemu). Belum ada infrastruktur untuk membawa gas dari pusat produksi ke demand. Isu berikutnya adalah daya beli karena harus bawa dari ujung ke ujung itu butuh biaya kembali ke daya beli,” ungkap Rayendra.
Sementara itu, Advisor Indonesia Gas Society (IGS) Salis Aprilian menilai untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan gas jangka panjang, dibutuhkan perbaikan kebijakan.
Misalnya, implementasi kebijakan alokasi dan harga gas bumi yang lebih prudent untuk memastikan pasokan gas yang lebih realistis sesuai kondisi subsurface dan fasilitas produksi dan melibatkan konfirmasi pembeli domestik sebelum diberikan alokasi ekspor.